
Ancaman Ganda: Mengungkap Hubungan Stunting dan Tuberkulosis pada Anak di Indonesia
Oleh : Sukhalita SKM
Stunting adalah kondisi ketika tinggi badan anak lebih pendek dibandingkan anak seusianya akibat kekurangan nutrisi dalam waktu yang berkepanjangan. Kondisi ini bisa terjadi karena asupan gizi yang tidak mencukupi, baik saat ibu hamil maupun saat anak berada dalam fase tumbuh kembang. Menurut Kemenkes RI, Stunting merupakan kondisi kekurangan gizi kronis yang terjadi akibat asupan nutrisi yang tidak mencukupi dalam jangka waktu lama, biasanya karena pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh. Masalah ini bisa mulai muncul sejak janin dalam kandungan dan baru terlihat jelas saat anak berusia dua tahun. Stunting, bersama gangguan gizi lainnya yang terjadi selama periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), tidak hanya menghambat pertumbuhan fisik dan meningkatkan risiko penyakit, tetapi juga dapat mengganggu perkembangan kemampuan kognitif anak, yang berdampak pada tingkat kecerdasan saat ini serta produktivitasnya di masa depan. Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2024 mencatat prevalensi stunting nasional sebesar 19,8%.
Di Indonesia, tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan masyarakat yang sangat memprihatinkan. Menurut Global TB Report 2024, Indonesia berada di urutan kedua tertinggi di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India. Setiap tahunnya, diperkirakan terdapat sekitar 1.090.000 kasus TB dengan angka kematian mencapai 125.000 jiwa, atau setara dengan sekitar 14 orang meninggal setiap jam. Pada tahun 2024, tercatat sekitar 885 ribu kasus TB, dengan rincian 496 ribu kasus pada laki-laki, 359 ribu pada perempuan, dan 135 ribu kasus menyerang anak-anak usia 0-14 tahun.
Anak yang mengalami stunting cenderung memiliki tubuh yang lebih kecil dan pendek dibandingkan anak seusianya. Kondisi ini juga disertai dengan masalah malnutrisi kronis. Perawakan pendek tersebut umumnya dipengaruhi oleh asupan nutrisi yang tidak memadai serta infeksi kronis yang dialami anak. Stunting dapat terjadi akibat kekurangan asam amino, yaitu zat penting yang biasanya diperoleh dari konsumsi protein hewani. Saat kadar asam amino dalam tubuh anak sangat rendah, risiko stunting pun meningkat. Lalu, apakah anak stunting lebih rentan terkena penyakit TB? Secara umum, stunting merupakan salah satu bentuk gangguan gizi kronis pada anak. Saat kebutuhan gizi tidak terpenuhi, sistem imun anak melemah, sehingga tubuhnya lebih mudah terserang berbagai infeksi, termasuk infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis, penyebab penyakit TB.
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini umumnya menyerang paru-paru, namun bisa juga menjalar ke organ tubuh lainnya, terutama kelenjar getah bening. TB tergolong berbahaya karena dapat menyerang siapa saja, meskipun paling rentan terjadi pada anak-anak, lansia, individu dengan sistem kekebalan tubuh lemah, serta penderita penyakit penyerta. Di Indonesia, diperkirakan terdapat sekitar 842.000 kasus TB, dengan 60.676 di antaranya menyerang anak-anak. Sayangnya, banyak orang tua yang masih menganggap TB sebagai penyakit yang menakutkan, dan tak jarang para tenaga kesehatan justru menggunakan istilah lain seperti “Flek Paru” atau bronkitis alih-alih menyebutnya sebagai TB anak.
TB dan stunting memiliki kaitan erat yang telah diketahui sejak lama. Keduanya saling memengaruhi: TB dapat menyebabkan terjadinya stunting, dan sebaliknya, kondisi stunting juga dapat meningkatkan risiko TB laten berkembang menjadi TB aktif. Mengapa seperti itu?
Salah satu faktor risiko terjadinya tuberkulosis adalah masalah gizi, karena kekurangan gizi dapat melemahkan sistem imun tubuh dalam melawan infeksi. Status gizi memainkan peran penting dalam menentukan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit. Tubuh yang mendapat asupan gizi seimbang dan cukup lebih mampu melawan infeksi. Anak-anak dengan status gizi baik memiliki kemampuan lebih besar untuk mencegah penyebaran penyakit, sedangkan anak yang mengalami stunting dan terinfeksi TB berisiko mengalami perkembangan TB menjadi aktif. Berdasarkan data dari The Indonesian Journal of Infectious Disease, balita yang mengalami stunting memiliki risiko 2,96 kali lebih besar untuk terkena TB, sedangkan balita dengan stunting berat (severely stunting) memiliki risiko hingga 8,18 kali lipat. Anak-anak yang masih kecil umumnya memiliki sistem kekebalan tubuh yang belum optimal, dan kekebalan ini akan semakin melemah jika mereka mengalami kekurangan gizi. Oleh karena itu, semakin buruk status gizi anak, semakin tinggi pula kemungkinan mereka terkena tuberkulosis dibandingkan anak-anak dengan gizi yang cukup.
Sebaliknya, Tuberkulosis (TB) juga dapat menyebabkan kekurangan gizi pada anak yang berujung pada stunting. TB, sebagai penyakit infeksi kronis, menurunkan nafsu makan anak sehingga asupan gizinya kurang, berat badan menurun, dan pertumbuhan terganggu. Penelitian menunjukkan bahwa kekurangan gizi pada pasien TB bahkan lebih parah dibandingkan penyakit kronis lain seperti lepra. Oleh karena itu, anak dengan TB memerlukan asupan energi dan gizi yang lebih untuk mendukung pertumbuhan dan mencegah kondisi memburuk.
Lalu, apa yang terjadi jika keduanya tidak segera ditangani? Kondisinya bisa makin parah dan proses pengobatan pun menjadi lebih sulit. TB yang dibiarkan tanpa pengobatan bisa menjadi kebal terhadap obat dan menyebabkan penurunan berat badan. Sementara itu, stunting yang tidak ditangani sejak dini dapat mengganggu kemampuan belajar anak, menurunkan fungsi kognitif, dan berdampak pada kehidupan jangka panjang, seperti gangguan metabolisme serta perkembangan otak yang tidak optimal.
Karena kasusnya masih cukup tinggi di Indonesia, kedua penyakit ini telah dijadikan program prioritas dalam sektor kesehatan. Pemerintah mewajibkan pemberian vaksin BCG pada anak-anak sebagai langkah pencegahan terhadap infeksi TB yang berat. Infeksi TB berat bisa menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak, serta berisiko menyebabkan stunting. Oleh karena itu, vaksin BCG secara tidak langsung turut membantu menurunkan angka stunting. Selain itu, ada juga program untuk mencukupi kebutuhan gizi selama 1000 hari pertama kehidupan, termasuk pemberian makanan tambahan guna meningkatkan status gizi anak, serta upaya peningkatan sanitasi lingkungan sebagai bagian dari pencegahan stunting. Pemerintah juga menjalankan program TOSS TBC (Temukan, Obati, Sampai Sembuh) untuk mencegah penyebaran TB. Meski begitu, semua upaya ini masih perlu didukung dengan peningkatan kualitas layanan kesehatan masyarakat agar lebih responsif dalam menangani kasus TB dan stunting.
Yuk, mulai dari diri kita!
- Pastikan anak-anak di sekitar kita mendapat imunisasi lengkap, asupan gizi seimbang, dan lingkungan yang bersih.
- Segera periksakan anak ke fasilitas kesehatan jika mengalami gejala TB atau tanda-tanda stunting.
- Bagikan informasi ini ke keluarga, teman, dan tetangga agar semakin banyak anak Indonesia terbebas dari stunting dan TB.
Karena setiap anak berhak tumbuh sehat, cerdas, dan bahagia. Bersama kita bisa cegah stunting dan TB anak!
Sumber:
Cegah Stunting. 2021. Stunting and Tuberculosis: Bagaimana Hubungannya. https://www.cegahstunting.com/post/stunting-and-tuberculosis-bagaimana-hubungannya
Halodoc. 2023. Cek Fakta: Benarkah Anak Stunting Rawan Tertular TBC. https://www.halodoc.com/artikel/cek-fakta-benarkah-anak-stunting-rawan-tertular-tbc?srsltid=AfmBOoo595P0aMv-AaTtnpD6mGLndMhm29kWyVuI_ZRRaMAoaQx6wUnI
Kemenkes RI. Stunting. https://ayosehat.kemkes.go.id/topik-penyakit/defisiensi-nutrisi/stunting
Kemensesneg RI. 2025. SSGI 2024: Prevalensi Stunting Nasional Turun Jadi 19,8%, Capai Angka di Bawah Proyeksi Bappenas. https://stunting.go.id/ssgi-2024-prevalensi-stunting-nasional-turun-jadi-198-capai-angka-di-bawah-proyeksi-bappenas/#:~:text=SSGI%202024:%20Prevalensi%20Stunting%20Nasional,di%20Bawah%20Proyeksi%20Bappenas%20%2D%20TP2S
Write a Comment