Category: <span>berita</span>

48 tahun PPNI: Perawat RS Paru Respira Lakukan Edukasi Vaksin Booster

Oleh: Agung Rejecky, S. Kep., Ns

Keperawatan adalah bagian integral dari pelayanan profesional kesehatan. UU 38 tahun 2014 menjelaskan bahwa keperawatan dalam memberikan pelayanan didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maapunun sakit. Tercapainya pelayanan profesional keperawatan saat ini, tidak terlepas dari panjangnya perjalanan sejarah keperawatan. Keperawatan masuk di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda yang mana pada saat itu perawat disebut sebagai velpeger. Pada tahun 1962 dengan didirikan Akper milik Departemen Kesehatan di Jakarta, menggambarkan awal mula pendidikan profesional keperawatan mulai dirintis.

            Dengan semakin kompleksnya dinamika pelayanan kesehatan dan pesatnya perkembangan keperawatan di Indonesia, tentu saja perlu adanya sebuah wadah yang mampu menjadi sarana pemersatu, pembuat kebijakan, pembina, pengembang, dan pengawas keperawatan di Indonesia. 17 Maret 1974 didirikan wadah organisasi keperawatan di Indonesia, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). Tahun 2022 tepatnya tanggal 17 Maret, genap 48 tahun usia PPNI. Sebagai organisasi profesi keperawatan, PPNI adalah perwujudan semangat profesi keperawatan, yaitu mewujudkan inti pelayanan keperawatan yang berfokus pada menjaga dan meningkatkan kesehatan keluarga dan masyarakat.

            Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat PPNI, Harif Fadillah mengatakan “Maka perlulah kita peringati bersama di hari yang berbahagia ini, atas keteguhan semangat kita bersama sehingga organisasi PPNI dapat berdiri 48 tahun lamanya”. Melalui Surat Edaran DPP PPNI Nomor 0115/DPP.PPNI/SE/K.S/II/2022 tentang Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT), DPP PPNI menyerukan kepada seluruh pimpinan PPNI mulai dari tingkat Wilayah hingga Komisariat untuk mengadakan kegiatan Peringatan HUT PPNI ke-48 secara menyeluruh dan serentak dengan tema “Perawat Bersama Rakyat, Menuju Bangsa Sehat, Bebas Covid 19”.

            Dewan Pimpinan Komisariat (DPK) PPNI RS Paru Respira merupakan salah satu DPK PPNI yang berada di bawah Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PPNI Bantul. Menindaklanjuti SE tentang Peringatan HUT PPNI ke-48, DPK PPNI RS Paru Respira memperingati HUT PPNI ke-48 dengan mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat yaitu edukasi vaksin booster kepada pengunjung RS Paru Repira. Kegiatan dilakukan oleh jajaran pengurus beserta seluruh anggota DPK PPNI RS Paru Respira yang bekerjasama dengan Unit Promosi Kesehatan Rumah Sakit RS Paru Respira. Sasaran dari kegiatan ini adalah seluruh pengunjung baik pasien maupun pengantar pasien di Poliklinik RS Paru Respira dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan.

            Rangkaian kegiatan pengabdian masyarakat tentang edukasi vaksin booster dimulai pada pukul 08.15 bertempat di ruang tunggu poliklinik RS Paru Respira. Mustofa, AMK selaku Ketua DPK PPNI RS Paru Respira dalam sambutannya mengatakan bahwa dalam kesempatan peringatan HUT PPNI ke 48 ini dimanfaatkan sebagai sarana edukasi vaksin booster agar masyarakat khususnya pengunjung RS Paru Respira memahami pentingnya dilakukan vaksinasi booster. Pemaparan materi vaksin booster disampaikan oleh Dwi Setyawati, SST sekitar 15 menit dan dilanjutkan dengan tanya jawab dengan pengunjung. Sementara dari Unit PKRS menambahkan materi yang berjudul “Ada Apa dengan TBC dan Covid 19” yang disampaikan oleh Nur Handayani, SKM.

            Dalam kegiatan juga diberikan souvenir kepada pengunjung berupa handsanitizer, masker, gantungan kunci, dan kalender. Secara umum acara berjalan dengan lancar dan menarik, yang ditandai dengan antusias pengunjung rumah sakit dalam memperhatikan penyampaian materi dan banyaknya pertanyaan terkait materi seputar vaksin booster, covid 19, dan TBC.

            Dengan adaya kegiatan pengabdian masyarakat pada HUT PPNI ke 48, menunjukkan eksistensi perawat dalam ikut mewujudkan bangsa yang sehat dan bebas covid 19. Tentunya bukan hanya dalam moment ini saja, akan tetapi dalam keseharian menjalankan tugas sebagai perawat harus senantiasa membaktikan dirinya dalam berperan mewujudkan masyarakat yang sehat. DIRGAHAYU PPNI KE 48, semoga selalu diberikan kemudahan dan perlindungan dalam menjalankan tugas. PPNI JAYA…!! (agg*)

TBC BUKAN PENYAKIT KETURUNAN ATAU GUNA-GUNA

Oleh : Susilawati, SKM

TBC atau Tuberculosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini paling sering menyerang paru-paru tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya seperti kelenjar getah bening, tulang, otak, kulit dll. TBC sering juga disebut dengan paru-paru basah atau flek paru. Banyak orang yang menganggap bahwa TBC adalah penyakit keturunan, akibat guna-guna atau di racuni orang lain.

Hal ini disebabkan karena pada  beberapa orang yang terkena penyakit TBC di temui ada yang batuk bercampur darah, gelisah dan sering berkeringat di malam hari, nafsu makan berkurang sampai berat badan yang menurun drastis. Gejala-gejala tersebut sering sekali dikaitkan dengan guna-guna. TBC adalah penyakit menular sehingga sangat memungkinkan apabila di rumah ada yang positif terkena TBC maka tidak menutup kemungkinan yang tinggal serumah juga positif

TAHUKAH KAMU ?

            Penularan TBC terjadi melalui udara dari percikan dahak pasien TBC yang batuk tanpa menutup mulut. Jika udara yang mengandung kuman TBC tadi terhirup maka terdapat kemungkinan kita terkena infeksi TBC namun tidak selalu berarti kita akan sakit TBC, bisa jadi kuman tersebut ‘ tidur ‘ (dormant) dalam badan kita. Kuman ‘ tidur ‘ tidak membuat kita sakit TBC dan kita juga tidak dapat menularkan ke orang lain. Jika daya tahan tubuh menurun, kuman TBC yang ‘ tidur ‘ ini menjadi aktif dan memperbanyak diri, maka kita menjadi sakit TBC.

SIAPA YANG PALING BERISIKO SAKIT TBC ?

  1. Siapa saja dapat tertular TBC tetapi belum tentu menjadi sakit.
  2. Orang dengan imunitas atau daya tahan tubuh rendah yang paling berisiko, yaitu :
  3. Anak
  4. Orang dengan HIV / AIDS
  5. Orang usia lanjut
  6. Penyandang Diabetes Mellitus
  7. Perokok
  8. Orang kontak erat atau kontak serumah dengan pasien TBC

GEJALA TBC

  • Batuk terus menerus (berdahak maupun tidak berdahak)
  • Demam meriang berkepanjangan
  • Sesak nafas dan nyeri dada
  • Berat badan menurun
  • Kadang dahak bercampur darah
  • Nafsu makan berkurang
  • Berkeringat di malam hari meski tanpa melakukan kegiatan

Bila mengalami gejala di atas segera lakukan pemeriksaan dahak. Dibutuhkan 2 kali pengambilan dahak pasien yaitu saat datang ke layanan (sewaktu) dan dahak pagi sesaat setelah bangun tidur (pagi).

Kanker dan Serba-Serbinya (Hari Kanker Sedunia 2022)

Oleh : Nur Handayani, S.KM

Kanker adalah penyakit yang sering menjadi momok yang menakutkan. Setiap tanggal 4 Februari 2022 diperingati sebagai hari kanker sedunia dimana pada momen ini kita diingatkan untuk meningkatkan kesadaran kita dalam upaya mencegah penyakit kanker. Berdasarkan data Riskesdas, prevalensi tumor/kanker di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan dari 1.4 per 1000 penduduk di tahun 2013 menjadi 1,79 per 1000 penduduk pada tahun 2018. Sedangkan data Global Burden of Cancer Study (Globocan) dari World Health Organization (WHO) mencatat, total kasus kanker di Indonesia pada 2020 mencapai 396.914 kasus dan total kematian sebesar 234.511 kasus.

              Berdasarkan grafik disamping kanker payudara memiliki jumlah kasus baru tertinggi di  Indonesia sebesar 65.858 kasus atau 16,6% dari total 396.914 kasus kanker. Kanker serviks (leher rahim) menempati urutan kedua dengan jumlah 36.633 kasus atau 9,2% dari total kasus kanker. Kanker paru-paru menyusul di urutan ketiga dengan jumlah 34.783 kasus (8,8% dari total kasus), lalu kanker hati sejumlah 21.392 kasus (5,4% dari total kasus), dan kanker nasofaring (area di sebelah atas bagian belakang tenggorokan) sejumlah 19.943 kasus (5% dari total kasus).

              Tingginya kasus kanker tentu bisa menjadi kewaspadaan awal kita untuk mau meminimalisir faktor yang terkait dengan penyakit kanker tersebut. Ada beberapa hal yang kemudian terkait dengan kejadian kanker. Menurut Yayasan Kanker Indonesia (YKI), salah satu penyebab tingginya kasus kanker di Indonesia adalah kondisi lingkungan yang terus menghasilkan bahan karsinogen, seperti rokok, daging olahan, dsb. Penyebab lain yang juga mempengaruhi seperti kebiasaan begadang, kurang olah raga, dan makan terlalu banyak.

              Penyakit kanker sendiri di Indonesia adalah salah satu penyakit yang mengakibatkan jumalah kematian cukup besar. Kanker adalah penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel abnormal yang tidak terkendali di dalam tubuh . Pertumbuhan sel abnormal ini dapat merusak sel normal di sekitarnya dan di bagian tubuh yang lain. Kanker merupakan penyebab kematian kedua terbanyak di seluruh dunia. Kanker sering menyebabkan kematian karena umumnya penyakit ini tidak menimbulkan gejala pada awal perkembangannya, sehingga baru terdeteksi dan diobati setelah mencapai stadium lanjut. Itulah makanya penting untuk kita pemeriksaan skrining atau cek kesehatan secara berkala, agar kanker dapat terdeteksi secara dini.

              Munculnya permasalahan kanker berdampak tidak saja hanya kepada pasien saja, tetapi sosial, ekonomi masyarakat dan negara. Semisal saja apabila ada ibu yang yang menderita penyakit kanker, anak-anak akan dapat kehilangan kesempatan mendapatkan Airs Susu Ibu (ASI), pengasuhan optimal untuk tumbuh kembangnya. Belum lagi bila yang menderita penyakit kanker adalah ayah pencari nafkah, tentu ini akan mengganggu stabilitas perekonomian keluarga. Permasalahan lain adalah masalah akses keperawatan. Terkait masalah akses keperawatan, Hari Kanker sedunia tahun ini tema global “Close the Care Gap” yang artinya “Tutup Kesenjangan Perawatan”. Kampanye baru Hari Kanker Sedunia untuk membangun akses perawatan kanker yang lebih adil dan merata untuk semua. Tapi pada kenyataannya, tidak bisa dipungkiri ada beberapa masyarakat yang kurang percaya dengan mutu pelayanan kanker di Indonesia, sehingga mereka memilih pengobatan di luar negeri. Ada lagi yang sebagian memilih pengobatan alternatif yang kurang dapat dipercaya efektifitasnya. Layanan medis terkait kanker di Indonesia sebenarnya sudah mengalami kemajuan, akan tetapi terkadang pada pasien muncul rasa takut untuk periksa dan menjalani pengobatan. 

                 Permasalahan terkait perawatan kanker tidak bisa kita lihat hanya sebagian saja, tetapi harus secara keseluruhan. Disini perlunya kerjasama antara pemerintah, lembaga terkait dan masyarakat itu sendiri dalam upaya penanganan dan pencegahan penyakit kanker. Bagi pemerintah tentunya dapat dilakukan dengan terus meningkatkan pelayanan medis terkait penanganan pasien maupun layanan deteksi dini. Selain itu juga perlu peningkatan pelayanan jaminan kesehatan yang adil dan merata bagi masyarakat terutama pasien kanker.  Pelayanan kesehatan yang memadai serta adil dan merata akan dapat membantu pada sisi kualitas hidup pasien kanker. Hal ini serupa juga diungkap dalam penelitian Made Ririn Sri Wulandari “Hubungan Kepuasan Selama Perawatan dengan Kualitas Hidup Pasien Kanker Ovarium di RSUP Sanglah”, dimana hasilnya menyebutkan ada hubungan antara kepuasan selama pengobatan dengan kualitas hidup pasien kanker ovarium di Rumah Sakit Umum Sanglah. 

                 Dalam sisi pencegahan perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan lembaga terkait misalnya saja yayasan kanker atau komunitas/kelompok pendukung sesama penderita kanker untuk pemberian edukasi terkait pencegahan dan penanganan khususnya pasien kanker. Masyarakat juga berperan penting dalam upaya mencegah penyakit kanker dengan upaya mencegah munculnya penyakit kanker dengan pola hidup sehat, dan pentingnya masyarakat khususnya keluarga pasien untuk dapat memberikan dukungan kepada pasien dalam upaya keberhasilan pengobatan. Dari dukungan sosial kepada pasien inilah dapat memberikan efek positif terhadap kualitas hidup pasien kanker. Hal ini pernah diungkapkan pada penelitian Witdiawati,dkk dengan judul “Dukungan Sosial Dalam Adaptasi Kehidupan Klien Kanker Payudara di Kabupaten Garut” dimana hasil penelitiannya menyebutkan ukungan sosial sangat bermakna dan menjadi satu kekuatan dalam adaptasi kehidupan klien kanker payudara, sehingga terbentuk mekanisme koping yang adaptif  dalam menghadapi kondisi penyakitnya dan aktivitas sosial sebagai wujud adaptasinya.

              Gejala kanker dapat bervariasi tergantung dari jenis kanker nya dan pada organ tubuh mana yang terkena kanker. Beberapa gejala yang sering dialami penderita kanker adalah:

Orang yang berisiko terkena kanker perlu menjalani skrining dan pemeriksaan rutin ke dokter. Contohnya, seorang perokok yang anggota keluarganya pernah terkena kanker, atau seseorang yang sering bergonta-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom. Seseorang juga perlu memeriksakan diri ke dokter apabila mengalami gejala kanker, seperti munculnya benjolan di tubuh, penurunan berat badan secara drastis, atau batuk kronis. Deteksi dini kanker dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan.

              Tapi bagaimanapun juga, pencegahan lebih baik daripada mengobati. Untuk pencegahan kanker kita disarankan untuk melakukan gaya hidup sehat. Ada beberapa tips yang bisa dilakukan untuk pencegahan penyakit kanker, antara lain :

  • CERDIK : Cek kesehatan secara berkala, Enyahkan asap rokok, Rajin Aktifitas Fisik, Diet Seimbang, Istirahat cukup dan Kelola stress dengan baik
  • Batasi konsumsi daging dimasak sangat matang atau dibakar
  • Terapkan “Isi Piringku” : Porsi Isi Piringku Kemenkes terdiri dari makanan pokok, yakni sumber karbohidrat dengan porsi 2/3 dari 1/2 piring. Lalu dilengkapi dengan lauk pauk dengan porsi 1/3 dari 1/2 piring. Untuk setengah piring lainnya diisi dengan proporsi sayur-sayuran dengan porsi 2/3 dan buah-buahan dengan porsi 1/3
  • Jaga berat badan ideal
  • HIndari perilaku berisiko, misal : Berbagi jarum dengan orang yang menggunakan obat intravena dapat menyebabkan HIV, serta hepatitis B dan hepatitis C, yang dapat meningkatkan risiko kanker hati.
  • Tidak merokok
  • Berjemur di bawah matahari secukupnya
  • Tidak mengkonsumsi alkohol
  • Memakai masker bila perlu saat harus berada atau dekat dengan asap pabrik
  • Batasi penggunaan handphone yang tidak tepat
  • HIndari makanan dan minuman yang mengandung zat carsinogen (pengawet)
  • Hindari cara pengolahan dan penyajian makanan yang salah misalanya penggunaan minyak goreng bekas secara berulang

                        Begitu bahayanya penyakit kanker, untuk itu kita perlu menyadari pentingnya hidup sehat. Yuk mulai sekarang kita biasakan pola hidup sehat agar terhindar dari penyakit kanker.

Daftar Pustaka

Atika Dwi Damayanti, dkk. 2008. Penanganan Masalah Sosial dan Psikologis Pasien Kanker Stadium Lanjut dalam Perawatan Paliatif. Indonesian Journal of Cancer, Vol 2 No. 1 (2008)

Kementrian Kesehatan Republik Indoensia. 2013. Menkes Ungkap 4 Masalah Utama pada Penanggulangan Kanker. https://sehatnegeriku.kemkes.go.id diunggah 21 februari 2013

dr. Tjin Willy. 2019. Kanker. https://www.alodokter.com diunggah 3 Juli 2019

Vania Rosa, dkk. 2019. Rumitnya Permasalahan Pengobatan Kanker di Indonesia. https://www.suara.com diunggah 15 Juli 2019

Mardana, Andi. 2022. Hari Kanker Sedunia 2022 “Tutup Kesenjangan Perawatan”. https://www.womanindonesia.co.id diunggah 26 Januari 2022

Sapto Adhi, Irawan. 2020. 12 Cara Mencegah Kanker Secara Alami. https://health.kompas.com diunggah 11 Juli 2020

Pranita, Ellyvon. 2021. Kasus Baru dan Kematian akibat Kanker di Indonesia Naik 8,8 Persen. https://www.kompas.com diunggah 3 April 2021

Pranita, Ellyvon. 2021. Situasi Kanker Paru di Indonesia Saat Ini, Prevalensi Kematian Meningkat. https://www.kompas.com diunggah 10 Desember 2021

Witdiawati, dkk. 2018. Dukungan Sosial Dalam Adaptasi Kehidupan Klien Kanker Payudara di Kabupaten Garut. Indonesia Journal of nursing Research Ngudi Waluyo Ungaran University, Vol 1, No. 1 (2108)

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Riskesdas 2018.

Wulandari, Made Ririn Sri. 2020. Hubungan Kepuasan Selama Perawatan dengan Kualitas Hidup Pasien Kanker Ovarium di RSUP Sanglah. Jurnal Keperawatan PolKesyo, Vol.9, No. 2 (2020)

Permasalahan Stunting dan Obesitas Anak Pada Masa Pandemi

Oleh : Nur Handayani, S.KM

Masa Pandemi memasuki tahun kedua pada 2022 ini. Tentunya kita berharap pandemi ini segera berakhir. Terkait dengan masa pandemi, banyak kemudian berimbas pada banyak sektor. Contohnya saja pada sektor ekonomi dan kesehatan. Pandemi COVID-19 telah mempengaruhi 29,12 juta penduduk usia kerja di Indonesia. Kebijakan pembatasan aktivitas ekonomi untuk menekan laju penyebaran COVID-19 telah menyebabkan tingkat pengangguran meningkat tajam dari 5% pada Februari 2020 menjadi 7% pada Agustus 2020 (atau sekitar 42% lebih tinggi). Selain itu, survei J-PAL (2020) melaporkan bahwa sekitar 56% pria dan 57% wanita telah kehilangan pekerjaan atau tidak lagi bekerja pada Maret 2020. Fenomena kehilangan pekerjaan ini terjadi secara tidak proporsional di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan dan sangat parah di Jawa. Dalam sektor kesehatan juga mengalami imbas yang luar biasa. Negara harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk biaya perawatan penderita Covid-19, obat-obatan dan vaksin .

              Kondisi masyarakat sendiri akibat pandemi terlihat pada perekonomian keluarga dan kesehatan keluarga. Seperti kita ketahui, dampak dari menurunnya persentase ekonomi di Indonesia, salah satunya adalah peningkatan angka pengangguran dan penduduk miskin yang disebabkan karena PHK selama masa pandemi Covid-19. Hal ini membuat daya beli masyarakat juga menurun untuk masyarakat kalangan ekonomi ke bawah. Hal ini mempengaruhi jumlah dan kualitas konsumsi keluarga. Banyak masyarakat yang kemudian konsumsi makanan tanpa memperhatikan aspek nilai gizinya. Dan kemudian akhirnya dapat mempengaruhi munculnya permasalahan beban ganda malnutrisi dimana muncul stunting dan obesitas pada anak.

              Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang ditandai dengan tubuh pendek. Penyebab dari stunting adalah rendahnya asupan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan, yakni sejak janin hingga bayi umur dua tahun. Selain itu, buruknya fasilitas sanitasi, minimnya akses air bersih, dan kurangnya kebersihan lingkungan juga menjadi penyebab stunting. Kondisi kebersihan yang kurang terjaga membuat tubuh harus secara ekstra melawan sumber penyakit sehingga menghambat penyerapan gizi. Sedangkan obesitas merupakan penumpukan lemak yang berlebihan akibat ketidakseimbangan asupan energi (energy intake) dengan energi yang digunakan (energy expenditure) dalam waktu lama. (WHO,2000)

              Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2021 mengadakan survei Studi Status Gizi Indonesia dimana hasilnya terdapat angka stunting sebesar 24,4%. Angka ini telah mengalami penurunan dimana tahun 2018 angka stunting mencapai 30,8% dan tahun 2019 berada pada angka 27,7%. Sedangkan obesitas anak pada 2018 angkanya masih 8 persen, lalu turun 3,5 persen menjadi 4,5 persen di 2019, dan saat ini turun lagi 0,7 persen menjadi 3,8 persen di 2021. Walaupun angka kedua permasalahan gizi tersebut mengalami penurunan, kita belum bisa lega, karena hal ini menjadi pekerjaan rumah yang tidak ringan. Seperti stunting,  prevalensi stunting di Indonesia lebih baik dibandingkan Myanmar (35%), tetapi masih lebih tinggi dari Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%) dan Singapura (4%).  Untuk obesitas, walaupun sudah menurun tapi masalah ini tidak boleh dianggap enteng, karena berawal dari obesitas inilah nantinya kan berimbas pada kesehatan di masa mendatang.

              Masalah stunting dan obesitas dapat dipengaruhi banyak hal. Kedua permasalahan ini musti dilihat secara keseluruhan, jangan dari satu sisi saja. Pandemi Covid-19 menyebabkan perubahan dalam banyak hal, dari sistem ekonomi, kesehatan, sosial hingga pendidikan. Selama pandemi, faktor ekonomi menjadi ancaman bagi masyarakat dalam upaya pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Pandemi menyebabkan masyarakat mengalami kesulitan mendapatkan penghasilan akibat kegiatan ekonomi terhenti karena adanya pembatasan sosial untuk menekan penyebaran virus. Sulitnya mendapatkan penghasilan akan berdampak pada ketahanan ekonomi keluarga dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan sehingga masyarakat menjadi memiliki keterbatasan akses, ketersediaan dan keterjangkauan makanan sehat. Dari sinilah kemudian dapat menyebabkan kekurangan zat gizi keluarga. Anak yang sedang membutuhkan nutrisi untuk tumbuh kembangnya bila kekurangan zat gizi akan meningkatkan risiko stunting pada anak. Hal ini senada dengan penelitian “Berdampakkah Pandemi Covid-19 terhadap Stunting di Bangka Belitung?”, dimana hasil yang diperoleh menunjukkan pembatasan kegiatan sosial masyarakat berakibat pada perubahan pola sosial ekonomi. Pembatasan terhadap akses konsumsi dan pelayanan kesehatan akan mempengaruhi status gizi anak. Penurunan status gizi anak dapat berdampak pada peningkatan prevalensi anak berisiko stunting di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung selama pandemi covid-19.(Wiwin, Efrizal, 2020)

              Stunting sebenarnya dapat dicegah, yaitu dimulai dari saat ibu masih remaja. Asupan dan pola makan yang sehat tentunya akan membuat tubuh sehat sekaligus akan mempersiapkan tubuh kelak saat mengandung hingga menjadi ibu. Janin yang dikandung pun tentunya diharapkan juga tidak kekurangan zat gizi saat dalam kandungan. Selanjutnya menyusui eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan dan pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang tepat dimulai pada usia enam bulan dan menyusui hingga dua tahun atau lebih akan dapat mencegah terjadinya stunting bahkan obesitas. Inilah yang kemudian mengapa 1000 Hari Pertama Kehidupan(HPK) menjadi salah satu momen penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi dalam upaya pencegahan stunting.

              Penyebab stunting terkait dengan beberapa hal antara lain, sosial ekonomi, status gizi ibu, pola pengasuhan, kebiasaan makan, tingkat pendidikan, informasi terkait gizi, infeksi, ketersediaan air bersih, keamanan pangan, asupan makanan, kekurangan zat gizi (defisiensi mikronutrien), keterjangkauan fasilitas kesehatan dan lingkungan. Dalam beberapa penelitian juga sebagian telah diteliti, seperti penelitian “Faktor yang Berhubungan dengan Pengetahuan Orangtua tentang Stunting pada Balita” yang menyimpulkan bahwa faktor yang berhubungan dengan pengetahuan tentang stunting yaitu usia(p=0,017), pendidikan (p=0,043), informasi (p=0,002). Penelitian lain “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang Tahun 2018” dimana hasil penelitian menyebutkan terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat asupan energi, riwayat durasi penyakit infeksi, berat badan lahir, tingkat pendidikan ibu dan tingkat pendapatan keluarga dengan kejadian stunting.

              Pandemi tidak saja memunculkan masalah stunting tetapi juga masalah obesitas pada anak. Pandemi mengakibatkan perubahan kebiasaan bahkan sistem pendidikan kita. Kebijakan pemerintah dimana pembatasan sosial dalam rangka menekan angka penyebaran virus membuat kita harus banyak menghabiskan waktu di rumah. Sistem bekerja diubah dengan pembelakukan sistem work from home (WFH). Sistem pembelajaran yang awalnya tatap muka diubah menjadi sistem pembelajaran jarak jauh dengan sistem pembelajaran online di rumah. Penurunan ekonomi akibat pandemi bagi sebagian orang membuat kemampuan daya beli atas makanan sehat berkurang sehingga tak jarang asupan makanan lebih banyak makanan tidak sehat dimana kandungan kalorinya tinggi. Anak sekolah menghabiskan waktunya sekitar 3-4 jam untuk kegiatan pembelajaran. Sisanya, anak menghabiskan waktu yang tidak bermanfaat untuk kebugaran tubuh, contoh saja karena sistem pembelajaran seringkali menggunakan gadget atau computer, anak-anak cenderung menghabiskan waktunya didepan layar gadget atau computer. Kebiasaan ini biasa disebut dengan Sedentary lifestyle, dimana gaya hidup anak yang tidak banyak melakukan suatu gerakan karena sudah membiasakan diri untuk berdiam diri dikamar dengan bermalas-malasan sehingga anak tidak aktif dalam beraktivitas fisik.  Gaya hidup Sedentary lifestyle  diikuti asupan makanan tidak terkontrol, energi yang dikeluarkan sedikit sehingga tubuh menyimpan banyak lemak. Inilah kemudian akan menyebabkan peningkatan berat badan. Hal serupa juga dipaparkan dalam penelitian Nourmayansa yang berjudul  “Hubungan Belajar Dari Rumah Dan Peningkatan Berat Badan Pada Anak Usia Sekolah di Masa Pandemi COVID- 19, dimana hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara belajar dari rumah dengan peningkatan berat badan pada anak usia sekolah di SD.(Nourmayansa, dkk, 2021). Peningkatan berat badan yang tidak terkontrol lambat laun akan menjadi obesitas. Penelitian lain yang terkait dengan obesitas anak yaitu penelitian yang berjudul “Hubungan Sedentary Life Style Dengan Kejadian Obesitas Pada Anak Selama Pandemic Covid-19” dimana hasil penelitian menyebutkan terdapat hubungan sedentary lifestyle dengan kejadian obesitas pada anak selama pandemi covid-19.

              Baik stunting maupun obesitas banyak faktor yang membelakangi terjadinya risiko tersebut. Untuk itu dalam moment Hari Gizi Nasional yang diperingati pada tanggal 25 Januari 2022 yang mengambil tema “Aksi Bersama Cegah Stunting dan Obesitas”, mari kita tingkatkan kesadaran akan pentingnya mencegah stunting dan obesitas mulai dari diri-sendiri dan lingkungan keluarga. Pentingnya peran orangtua dalam hal pengasuhan anak dan memperoleh informasi yang benar dengan pola hidup sehat termasuk didalamnya terkait penerapan pola makan yang sehat, menjadi poin penting pencegahan stunting maupun obesitas. Pada masa kanak-kanak merupakan kesempatan membentuk kebiasaan anak untuk makan sehat. Kebiasaan makan sehat, pemilihan asupan makan yang sesuai “isi piringku” diikuti dengan penerapan pola hidup sehat lainnya seperti olahraga teratur, istirahat cukup serta ketersediaan air bersih dan keamanan pangan yang memadai, akan banyak membantu mencegah terjadinya risiko stunting dan obesitas. Dalam isi piringku telah digambarkan setengah isi piring berisi 2/3 bagian dengan karbohidrat, 1/3 bagian berisi lauk pauk. Setengah porsi lagi berisi sayur dan buah. Dalam slogan “isi piringku” juga mengajarkan bagaimana sebaiknya ketercukupan kebutuhan air dan pembatasan konsumsi garam, gula dan lemak. Yuk, mulai sekarang kita terapkan pola hidup sehat demi generasi yang sehat dan berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Isi Piringku Sekali Makan. http://p2ptm.kemkes.go.id diunggah 24 Juli 2018

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. 1 dari 3 Balita Indonesia Derita Stunting. http://p2ptm.kemkes.go.id diunggah 9 April 2018

Kementreian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Ini Penyebab Stunting pada Anak. www.kemkes.go.id diunggah 24 Mei 2018

Wiwin, Efrizal. 2020. Berdampakkah Pandemi Covid-19 terhadap Stunting di Bangka Belitung? Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia. Vol.9 , No 3 September 2020.

Anita Rahmawati, dkk. 2019. Faktor yang Berhubungan dengan Pengetahuan Orang Tua tentang Stunting pada Balita. Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 6, Nomor 3, Desember 2019, hlm. 389–395

Eko Setiawan,dkk.  Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas  Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang Tahun 2018. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(2)

Nourmayansa Vidya Anggraini, dkk. 2021. Hubungan Belajar Dari Rumah Dan Peningkatan Berat Badan Pada Anak Usia Sekolah di Masa Pandemi COVID-19. Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (4) 2021

 Razdkanya Ramadhanty. 2021. Status Gizi Anak Indonesia Meningkat, Obesitas Turun jadi 3,8 Persen! https://health.detik.com diunggah 27 Desember 2021

Gangguan Pendengaran

Oleh : Susilawati, SKM

Apa Itu Gangguan Pendengaran?

Gangguan pendengaran adalah kehilangan pendengaran di salah satu atau kedua telinga. Kondisi ini bisa di sebabkan oleh banyak hal mulai dari paparan bising dalam waktu yang lama hingga gangguan pada sistem saraf pendengaran. Telinga adalah organ pendengaran yang berperan penting dalam menghantarkan dan menerima suara atau bunyi. Telinga terdiri dari 3 bagian, yaitu telinga bagian luar, telinga bagian tengah, dan telinga bagian dalam. Saat terjadi gangguan pada bagian-bagian telinga tersebut, maka akan terjadi gangguan dalam proses mendengar. Akibatnya, suara bisa terdengar tidak jelas atau bahkan tidak terdengar sama sekali.

Akibat gangguan pendengaran

Pada orang Dewasa gangguan pendengaran mempunyai dampak dalam hal berkomunikasi, emosional dan hubungan sosial.

Pada anak-anak dapat mempengaruhi nilai akademik/prestasi belajar dan dapat mengakibatkan gangguan perkembangan wicara.

Anda mungkin mengalami gangguan pendengaran, jika :

  1. Sering menyalakan radio, Televisi, musik dengan suara yang tinggi.
  2. Sering meminta seseorang untuk mengulang pembicaraan
  3. Telinga anda berbunyi atau berdenging
  4. Orang memberi tahu anda bahwa anda berbicara dengan keras
  5. Anda kesulitan mengikuti pembicaraan

Sedangkan anak mungkin mengalami gangguan pendengaran, jika :

  1. Tidak memahami apa yang anda katakan dengan benar
  2. Tidak merespons suara
  3. Keluar cairan dari telinga
  4. Sering mengalami nyeri berulang pada telinga atau penyumbatan di telinga
  5. Terlambat mulai berbicara atau perkembangan bicaranya tidak sesuai dengan usianya.

Kapan harus ke Dokter?

Lakukan pemeriksaan ke dokter jika mengalami gejala di atas, terutama ketika gangguan pendengaran tersebut mengganggu kegiatan sehari-hari. Segera temui dokter bila mendadak tidak bisa mendengar apa pun. Lakukan kontrol ke dokter jika Anda merasa bahwa kemampuan pendengaran Anda  menurun secara bertahap, terutama jika Anda pernah menderita infeksi telinga, diabetes, hipertensi, gangguan jantung, stroke, dan cedera otak, sebelumnya.

Idealnya, pemeriksaan pendengaran sebaiknya dilakukan setiap tahun atau setidaknya setiap 10 tahun sekali hingga Anda berusia 50 tahun. Setelah usia 50 tahun, lakukan pemeriksaan pendengaran minimal setiap 3 tahun sekali.

Pelayanan di IGD Berdasar Prioritas Kegawatdaruratan Pasien, Bukan Berdasar Urutan Kedatangan

Oleh :Agung Rejecky

“Wah saya di IGD RS X ga diapa-apain….!!.”

“Masak dari tadi di IGD cuma di tensi doang….???!!!”

Tidak dipungkiri pernyataan seperti itu sering kita dengar, bahkan di sekitar kita… Uuuupppssss…jangan negative thinking dulu…

Yuppp…Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. World Health Organisation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai kesejahteraan fisik, mental, sosial, dan bukan hanya tidak adanya penyakit dan kelemahan. Banyak upaya dari seseorang untuk mempertahankan kesehatannya ketika mereka menyadari adanya ancaman kesehatan pada dirinya. Pergi dan berobat ke rumah sakit adalah sebagai upaya bagi mereka yang mengalami ancaman kesehatan.

            Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan salah satu pintu utama atau garda terdepan dalam memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat selama 24 jam. Dilihat dari definisinya, bahwa IGD merupakan bagian dari rumah sakit yang memberikan penanganan awal kegawatdaruratan. Sedangkan kondisi gawat darurat dalam Permenkes No 47/2018 Pasal 1 ayat 3 tentang Pelayanan Gawat Darurat diartikan sebagai  keadaan klinis yang membutuhkan tindakan medis segera untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan. Ancaman nyawa dan kecacatan pada pasien berbeda-beda, tergantung seberapa parah kondisi yang dialami oleh pasien tersebut.

            Untuk menentukan besar kecilnya ancaman pasien terhadap kematian, perlu dilakukan tindakan pemilahan pasien berdasar tingkat kegwatdaruratan atau yang disebut triage. Dengan dilakukan triase, maka dapat ditentukan prioritas kegawatdaruratannya. Emergency Severity Index (ESI) adalah salah satu jenis triase yang banyak digunakan di Indonesia. Melalui pengkajian dan pemeriksaan dalam triase ESI, prioritas kegawatdaruratan pasien dibagi menjadi 5 prioritas (level) yaitu level 1, level 2, level 3, level 4, dan level 5. Pasien dengan level 1 merupakan pasien yang harus segera dilakukan penanganan karena adanya ancaman kematian seperti pasien henti jantung, perdarahan hebat, pasien henti nafas, dan kondisi lain yang dapat mengakibatkan kematian dalam waktu yang singkat. Pasien dengan level 2 merupakan pasien yang memiliki resiko yang besar terhadap terjadinya ancaman kematian seperti pasien dengan trauma perut dan pasien nyeri dada. Pasien dengan level 3 adalah adanya kondisi darurat akan tetapi tidak ada ancaman kematian, kondisi stabil akan tetapi disertai dengan pemeriksaan penunjang dengan hasil pemeriksaan penunjang dalam batas normal. Pasien dengan level 4 adalah kondisi tidak gawat tidak darurat, kondisi stabil tanpa harus dilakukan pemeriksaan penunjang, sedangkan pasien level 5 adalah pasien yang tidak perlu dilakukan tidakan apapun, misalnya pasien datang untuk berkonsultasi obat.

            Pasien yang datang ke IGD dengan kondisi penurunan kesadaran dan sesak nafas tentu saja akan didahulukan dalam pemberian penanganan dibandingkan pasien yang datang terlebih dahulu ke IGD dengan keluhan flu ringan 1 hari tanpa ada keluhan sesak nafas dan keluhan yang lainnya. Sehingga dengan adanya penerapan triase yang mendahulukan penanganan pasien dengan ancaman kematiannya lebih besar diharapkan akan meningkatkan harapan hidup pasien.

            Akan tetapi pada kenyataan dilapangan tidak sedikit masyarakat dalam hal ini pasien atau keluarga pasien yang merasa kecewa dengan pelayanan di IGD. Mereka kecewa karena merasa datang ke IGD lebih dahulu, akan tetapi yang diberikan penanganan pasien lain yang baru datang. Bahkan ada yang mengeluhkan sudah menunggu lama di IGD tidak diberikan penanganan. Kekecewaan pasien dan keluarga mungkin tidak akan terjadi, andaisaja petugas kesehatan di IGD mampu memberikan pemahaman dengan menjelaskan kondisi pasien saat itu yang tidak membutuhakan penanganan segera, dan akan dilakukan penanganan setelah selesai memberikan penanganan pada pasien yang prioriritas kegawatdaruratannya lebih besar. Namun tentu saja kita tidak lantas menyalahkan petugas begitu saja, beban kerja dan stressor yang tinggi di IGD seringkali membuat petugas tidak mempunyai waktu berlama-lama dalam memberikan penejelasan kepada pasien dan keluarga.

            Melalui artikel ini, penulis berharap mampu memberikan pemahaman kepada pembaca bahwa penanagan di IGD didasarkan kondisi kegawatdaruratannya. Penulis meyakini tidak ada maksud dari petugas IGD untuk mentelantarkan pasien. Petugas IGD akan selalu memegang teguh kode etik profesi dalam bertugas. Dalam hal ini petugas akan menerapkan prinsip etik yaitu prinsip justice (keadilan). Keadilan yang dimaksudkan adalah perawat memberikan penanganan kepada pasien sesuai dengan porsinya (yang dibutuhkan pasien). Nilai ini dilakukan secara profesional dan sesuai landasan hukum yang berlaku. Seperti yang sudah disampaikan pada awal artikel bahwa pelayanan IGD salah satunya berdasar pada PMK No 47 tahun 2018 Pasal 1 ayat (3) yaitu memberikan layanan untuk penyelamatan nyawa dan kecacatan, sedangkan ancaman nyawa pada pasien tergantung dari seberapa besar ancaman yang ada.

            Tidak hanya berharap agar masyarakat faham tentang prosedur penanganan pasien di IGD, penulis juga berharap khususnya kepada petugas kesehatan di IGD untuk terus meningkatkan komunikasi dalam memberikan pelayanan kepada pasien dan keluarga sehingga mengurangi kesalahpahaman yang memunculkan stigma negatif pada profesi kesehatan. (*)

*

Perawat IGD RS Paru Respira Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta

Mahasiswa Magister Keperawatan Prodi Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Dosen Pembimbing: Fitri Arofiati, S.Kep., Ns., MAN., Ph.D.

DAFTAR PUSTAKA

Ariyani, Hana & Rosidawati, Ida. (2020). Literature Review: Penggunaan Triase   Emergency Severity             Index (ESI) Di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Jurnal         Kesehatan Bakti Tunas Husada : Jurnal             Ilmu Ilmu Keperawatan, Analis          Kesehatan dan Farmasi,20(2): 143-152

Menkes RI. 2008. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor            129/MENKES/SK/II/2008 tentang Standar             Pelayanan Minimal Rumah Sakit.

Utami, Ngesti W., Agustine, Uly., Happy P, Ros Endah. (2016). Etika Keperawatan         dan Keperawatan             Profesional. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI